Liga Premier Inggris yang memasuki pekan ke-11 memberikan catatan kurang mengenakkan bagi Liverpool dan para pendukungnya. Liverpool yang praktis tak terhentikan oleh klub manapun dalam 26 pertandingan berturut-turut, faktanya harus mengakhiri rekor tak terkalahkan terpanjang sejak bergabung dengan Football League pada tahun 1893.
Dominasi penguasaan bola dan keunggulan kesempatan menembakkan bola ke arah gawang pun tak menjamin Liverpool mampu menundukkan tuan rumah, West Ham dan pulang dengan kepala tegak. Justru Liverpool dipaksa mengakui keunggulan lawannya.
Ketika berbicara tentang jalannya pertandingan, tentu saja setiap orang bisa menilai sesuai dengan perspektifnya sendiri, termasuk keberpihakan terhadap klub kesayangannya. Namun setidaknya, menurut beberapa media dan pelatih Liverpool sendiri, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan keunggulan West Ham akhirnya tidak dapat dikejar Liverpool.
Pertama, keunggulan tim berjuluk The Hammers itu salah satunya adalah kekuatan serangan balik. Sayangnya ketika Liverpool terlalu asik untuk menggedor pertahanan lawan, sampai lupa bahwa lini pertahanan Liverpool naik terlalu tinggi akibat kehilangan kesabaran menghadapi pertahanan berlapis West Ham, sehingga salah satu gol dari serangan balik setelah kerja brilian dari tendangan ke arah gawang Jarrod Bowen pada menit ke-67, akhirnya efektif menjebol gawang Liverpool.
Kedua, tidak dapat dipungkiri, West Ham juga mengandalkan kekuatan efektivitas serangan dari bola-bola mati. Tendangan sudut dan pelanggaran tim lawan menjadi pintu masuk West Ham memaksimalkan peluang untuk mengambil keuntungan. Kejadian gol ketiga West Ham melalui sundulan Kurt Zouma dari sepak pojok Bowen pada menit ke-74.
Terakhir, tentu saja adanya dugaan keputusan wasit yang dinilai pelatih Liverpool tidak memberikan keuntungan bagi timnya. Liverpool menilai kipernya dilanggar dari tendangan sudut Pablo Fornals, dan dan ketika Aaron Cresswell dinilai menerjang tinggi untuk melakukan tekel geser ke Jordan Henderson.