HMS Queen Elizabeth Picu Diplomatis Inggris-Tiongkok Memanas

Tudingan Barat atas Tiongkok yang dinilai sedang mengembangkan kebijakan ekspansif yang disokong kekuatan militer di Laut China Selatan (South China Sea) memanaskan hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat dan para negara mintarnya di Barat (Eropa).

Tahun lalu Tiongkok dituding mengembangkan kebijakan untuk memastikan kepentingan terororinya atas sebagian besar Laut China Selatan, yang meresahkan beberapa negara tetangganya yang terlibat konflik perbatasan, seperti Filipina, Vietnam dan Thailand.

Beberapa kali terlihat Tiongkok sedang mengembangkan pangkalan militer di beberapa titik pulau di kawasan Laut China Selatan dan itu menambah ketegangan dantara Tiongkok dengan AS, Eropa dan negara-negara yang berpotensi dirugikan secara teritori.

Belakangan ini, ketika Inggris berhasil mengembangkan dan membangun Kapal Induk terbesarnya, HMS Queen Elizabet yang diperkirakan menjalani misi resminya tahun 2020, direncanakan akan melakukan perjalanan yang melintasi Laut Cina Selatan.

Rencana melalui jalur tersebut merupakan bagian dari kebijakan menempatkan HMS Queen Elizabeth untuk bergabung dengan pasukan angkatan laut Amerika dan Jepang di dekat Kepulauan Ryukyu Jepang.

Namun, rencana Angkatan Laut Kerajaan Inggris ini mendapat respon keras dari diplomasi Tiongkok, sebagaimana telah dilansir oleh media South China Morning Post pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2021 yang lalu.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Tiongkok, Tan Kefei ketika ditanya tentang rencana Inggris selama konferensi pers bulanan di Beijing, Kamis. menegaskan "Pihak Tuongkok percaya bahwa Laut China Selatan seharusnya tidak menjadi lautan persaingan kekuatan besar yang didominasi oleh senjata dan kapal perang".

Amerika Serikat, yang pada bulan Juli secara resmi menolak "klaim ilegal" China atas sebagian besar laut yang diperebutkan dan telah mengkritiknya karena fitur militerisasi di sana, telah secara teratur mengirim kapal perang melalui wilayah tersebut untuk menantang klaim, yang diputuskan oleh pengadilan internasional 2016 tidak memiliki dasar hukum.


Artikel Terkait