Memahami Penegakan Hukum Covid-19 di Tanah Air dan Sinergitas TNI-Polri Skala Besar


1. Memahami Penegakan Hukum Covid-19 di Tanah Air

Upaya pendisiplinan dan penegakan hukum telah dilakukan di semua daerah, dari mulai pendekatan lunak (soft approach) hingga upaya-upaya represif yang melibatkan pendekatan penegakan hukum sebagai metode hard approach, untuk memastikan ketaatan masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan.

Perangkat dan instrumen hukum yang digunakan dalam upaya memastikan tertibnya masyarakat untuk mentaati protokol kesehatan pun beragam, tergantung dari ruang lingkung, cakupan dan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan, serta potensi dampak (delik formil) dan dampaknya (delik materiil) terhadap keselamatan seluruh warga masyarakat.  

Jadi tidak semua hukum pidana/delik itu selalu menuntut bukti akibat dari perbuatan, beberapa delik yang masuk dalam kualifikasi delik formil tidak mensyaratkan adanya dampak atau akibat perbuatan, apabila dalam ketentuan hukum dimaksud memang tidak mensyaratkan adanya akibat materiil untuk masuk kualifikasi delik.

Baca juga:  Pidana Jerat Pelanggar Protokol Kesehatan

Indoline.info mencatat setidaknya ada tiga jabatan Kapolda dievaluasi terkait dengan upaya penanganan Covid-19 karena dinilai kurang mengantisipasi potensi kerawanan yang tejadi di wilayah hukumnya, yakni Kapolda Jawa Timur, Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Metro Jaya.

Upaya penertiban lalu lintas orang keluar masuk Surabaya dalam upaya PSBB untuk penanggulangan Covid-19 tanggal 28 April 2020 lalu, yang kurang diantisipasi justru berujung terjadinya kerumunan besar di jalan Waru-Sidoarjo hingga Ahmad Yani Surabaya akibat kemacetan panjang, kemudian tidak lama setelah itu Kapolda Jatim dievaluasi.

Sementara, Kapolda Jabar sebelumnya dan Kapolda Metro Jaya sebelumnya dievaluasi  sesaat setelah terjadinya kerumunan akibat peristiwa yang melibatkan kerumunan besar terkait dengan kegiatan FPI dan Muhammad Rizieq Shihab.

Penegakan hukum untuk skala kerumunan sangat besar dan sudah terjadi di beberapa daerah tidak hanya menggunakan instrumen persuasif dan penegakan Perda, akan tetapi sudah dilakukan pendekatan dengan melibatkan instrumen Kepolisian dan hukum pidana.

Baca juga:  Ratusan Pelanggar Prokes ke Pengadilan: Wakil DPRD Sidang Lanjutan, Rizieq Tersangka

Masih segar dalam ingatan, bagaimana penyelenggara dan para saksi terkait insiden Konser Dangdut di Bogor pada akhir Juni 2020 lalu diperiksa Polisi di samping diperiksa Bupati Bogor dan gugus tugas percepatan penanganan penyebaran Covid-19 wilayah Bogor.

Kemudian lagi, Konser Dangdut di Jawa Tengah yang diselenggarakan Wakil DPRD Kota Tegal dari PDIP Perjuangan yang menyebabkan sampai Kapolsek Tegal Selatan dievaluasi, kemudian Polisi menetapkan Wakil DPRD Kota Tegal sebagai tersangka dan sekarang masih menjalani sidang lanjutan kelima di PN Kota Tegal setelah eksepsi (pembelaan)-nya ditolak majelis hakim.

Kasus berikutnya, Muhammad Rizieq Shihab (MRS) ditetapkan tersangka dan ditahan pihak Kepolisian karena undangannya secara langsung di suatu acara besar sebelumnya (cek di sini) menyebabkan terjadinya kerumunan sangat besar ketika menggelar hajatan pernikahan putrinya sekaligus menggelar acara Maulid.

Beberapa kontroversi berkembang dari upaya penegakan hukum Kepolisian, tetapi itu biasa dalam masyarakat demokrasi asalkan tidak merusak kaidah hukum dan merongrong supremasi hukum dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang beradab.

Kontroversi itu misalnya terkait dengan protes sekedar membandingkan dengan timbulnya kesan kurangnya penegakan hukum kerumunan ketika penyelenggaraan kampanye Pilkada beberapa waktu yang lalu, dimana pada saat pendaftaran calon timbul kerumunan cukup besar.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar bagi masyarakat yang tidak memahami bagaimana konstruksi hukum, dan bagaimana keadilan itu secara rigit dan hati-hati dirumuskan dalam hukum, temasuk di dalamnya hukum pidana.

Harus dipahami, melihat pidana itu tidak hanya melihat akibat karena bicara pidana itu bicara hukum sebab akibat (kausalitas). Contoh sederhana, mari melihat suatu kasus ditemukan ada orang meninggal tetapi penyebabnya bisa berbeda-beda.

Terdapat kasus hilangnya nyawa disebabkan pembunuhan berencana, kasus lainnya karena pembunuhan biasa atau spontan, berikutnya kasus lainnya karena kecelakaan atau kelalaian, bisa juga orang meninggal disebabkan upaya bela diri dari orang lain. Keempat kasus tidak bisa dihukumi sama karena sebab yang berbeda. 

Pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan asas hukum yang menjunjung tinggi keadilan, setiap orang hanya dimintai pertanggungjawaban hukum sesuai dengan kadar kesalahannya atau hanya terhadap kesalahan yang diperbuatnya.

Jadi, tidak serta merta ketika ada kerumunan terus pidananya sama karena sama-sama kerumunan, serupa sebagaimana apabila ada akibat yang sama seperti hilangnya nyawa tetapi sebab perbuatannya berbeda maka hukumannya berbeda, bahkan bisa bebas kalau membela diri.

Misalnya ada seorang mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah ke KPUD, kemudian dari sekretariat partai pendukung berangkat dengan 50 orang, ternyata dalam perjalanan bergabung komponen masyarakat lainnya tanpa disengaja dan menyebabkan kerumunan.

Maka pada calon tersebut dihukumi sebatas perbuatannya, apakah 50 orang tersebut melanggar ketentuan ataukah tidak. Kecuali jika di belakang layar si calon kepala daerah bermain sengaja mengakali aturan dan itu harus bisa dibuktikan secara hukum.

Apakah teori "bentuk kesengajaan dengan kemungkinan" tidak bisa berlaku. artinya kalau sudah bisa memperkirakan bahwa kemungkinan akan terjadi kerumunan meski awalnya berangkat hanya dengan 50 orang sesuai dengan ketentuan, maka sudah dapat dijerat dengan unsur sengaja.

Untuk kasus pendaftaran calon kepala daerah ke KPUD tidak bisa dikenai hukum pidana karena agendanya sudah ditetapkan bukan kehendak si calon, kecuali penyebab kerumunan itu kehendak si calon dan terbukti ketika timbul kerumunan tidak segera membubarkan diri.


2. Sinergitas TNI-Polri Skala Besar

Pada hari Selasa, tanggal 15 Desember 2020, Divisi Humas Polri mempublikasikan gelar patroli gabungan TNI-POLRI, antara Kodam Jaya bersama Polda Metro Jaya, dalam menjaga Kamtibmas di Wilayah Hukum Polda Metro Jaya untuk mewujudkan Jakarta yang aman, damai dan sejuk.

Publikasi bertajuk "Sinergitas TNI-Polri Skala Besar Dalam Menjaga Situasi Kamtibmas" menyajikan kesiapsiagaan dan patroli pasukan TNI dan Polri dalam mengamankan wilayah Ibukota dari setiap upaya yang dapat menganggu stabilitas kamtibmas dan keamanan kesehatan di kawasan tersebut.

Dalam publikasi Divisi Humas Polri memanfaatkan saluran media sosial youtube tersebut, Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen TNI Muhammad Saleh, yang mewakili TNI yang dalam hal ini Kodam Jaya, pandangannya disajikan terlebih dahulu.

Brigjen TNI Muhammad Saleh menegaskan, patroli berskala besar bertujuan pertama akselesari keterlibatan TNI-Polri dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang lebih intens lagi, karena diketahui situasi Covid-19 di Jakarta, terus meningkat dan tingkat penyebaran masih tinggi.

Tujuan kedua, berkaitan dalam rangka menghadapi libur Nataru, sebagaimana diketahui liburan bersama merupakan salah satu klaster yang menyumbang angka terbanyak covid, dengan adanya patroli ini diharapkan penegakan disiplin,

Dengan kehadiran aparat, maka diharapkan terjadi perubahan perilaku masyarakat, dimana yang tadinya tidak memakai masker jadi pakai masker, yang tidak menjaga jarak berubah menjadi jaga jarak, kemudian ada kerumunan jadi kerumunannya tidak ada,

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Fadil Imran, dalam pelaksaan patroli skala  besar pada hari Senin, tanggal 14 Desember 2020 menegaskan  patroli ini murni untuk menjaga keamanan Jakarta dari segala macam bentuk pidana, siapapun yang melakukan tindak pidana. 

Kapolda menambahkan, tujuan patroli juga untuk menciptakan dan memastikan rasa aman masyarakat Polri akan melakukan penegakan hukum. Jadi tidak ada kaitannya dengan apa-apa, TNI-Polri hanya ingin Jakarta aman dan sejuk.

Sebagaimana diketahui bersama, Jakarta hingga saat ini menjadi episentrum penyebaran atau transmisi Covid-19, sehingga kedisimplinan dan ketaatan hukum masyarakat DKI Jakarta akan menjadi barometer sejauh mana percepatan penanganan penyebaran Covid-19 dapat dilakukan.