Sebagaimana diketahui sebelumnya, pada hari Sabtu yang lalu, pada tanggal 28 November 2020, telah dilakukan serangkaian pemeriksaan terkait kegiatan tangkap tangan yang dilakukan KPK tehadap beberapa orang.
Serangkaian pemeriksaan KPK tersebut dilakukan untuk memenuhi batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara terhadap tindakan tangkap tangan KPK terhadap terperiksa Walikota Cimahi.
Hasil gelar perkara KPK menyimpulkan terjadi adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh Penyelenggara Negara terkait perizinan di Kota Cimahi Tahun Anggaran 2018-2020.
KPK kemudian memutuskan menahan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penerbitan perizinan untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda.
Beberapa pihak menyayangkan kejadian ini. Pemimpin Jawa Barat periode 2018-2023, Ridwan Kamil juga mengaku turut prihatin dan menyayangkan dengan terjadinya kasus yang menimpa Ajay Muhammad Priatna. Pada posisinya sebagai kepala daerah, perbuatan Ajay Muhammad Priatna dinilai sudah mencoreng nama baik Jabar.
Ketua KPK Firli Bahuri pun mengungkapkan Ajay Muhammad Priatna merupakan
Walikota Cimahi ketiga yang menjadi tersangka korupsi di KPK.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, dua Wali Kota Cimahi yang juga terjerat KPK.
Dua Walikota Cimahi sebelumnya yang tertangkap KPK karena kasus kasus suap adalah Itoc Tochija, Walikota pertama Cimahi yang terjerat kasus korupsi Pasar Atas Cimahi. dan Atty Suharty yang juga merupakan istri Itoc Tochija, juga terjerat kasus yang sama dengan suaminya.
Berulangnya kasus korupsi kepala daerah Cimahi hingga tiga kali berturut-turut menimbulkan pertanyaan, apakah proses haderisasi politik di kota ini sedang mengalami krisis dedikasi, moral dan integritas?
Sebagaimana diketahui hampir semua partai politik peserta pemilu baik partai lama maupun partai baru didera krisis yang berdampak pada timbulnya guncangan organisasi dan bahkian melahirkan stereotip negatif dan lunturnya kepercayaan publik.
Pelanggara etika dan hukum yang dilakukan kader partai politik, termasuk yang kebetulan duduk dalam pemerintahan, terutama terkait dengan kasus korupsi menjadi sebab menurunnya kepercayaan publik kepada partai politik.
Situasi seperti ini, yang sesungguhnya sudah terjadi sejak lama, seharusnya menjadi bahan kontemplasi dan kebijakan bagi partai politik untuk membangun sistem kaderisasi politik yang sehat, anti korupsi, taat hukum, menghormati seluruh pranata hukum yang ada, serta berkomitmen untuk menjaga kepercayaan yang diberikan rakyat kepadanya.
Oleh karena itu, dalam menghadapi keadaan seperti ini, partai politik harus berusaha keras membuktikan melalui langkah nyata memberikan dukungan terhadap pemberantasan korupsi dan memperbaiki sistem kaderisasi politiknya.