Beredar Video Ricuh Demo UU Cipta Kerja di Bandung


Beredar video demonstrasi berlangsung ricuh, yang dipicu disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bagian dari grand design Omnibus Law, terjadi di depan kantor pemerintahan di Jawa Barat yang berlokasi di kota Bandung kemarin.

Femomena demonstran yang merusak fasilitas pemerintah, memporakporandakan fasilitas publik, menghancurkan kendaraan Polisi, membakar ban bekas, dan seterusnya, merupakan beberapa insiden kejadian yang tidak jarang mewarnai aksi demonstrasi. 

Tidak terkecuali yang terjadi di Bandung Jawa Barat kemarin.  Sebagian demonstran UU Cipta Kerja bagian dari Omnibus Law, bertindak ekstrim merusak fasilitas publik, menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, termasuk yang terlihat pada foto di atas, demonstran sedang bertindak anarkis merusak fasilitas kendaraan aparat keamanan (mobil Polisi).

Tampaknya adagium "tiada protes keras tanpa kekerasan" tidak pernah ditinggalkan oleh sebagian komponen demonstran sejak madzhab demonstrasi diperkenalkan dan dipraktekkan sebagai bagian dari suara "ketidakberdayaan" oleh kelompok demonstran ekstrim.

Bukan saja ketika orde reformasi dimulai, di Indonesia cara seperti ini sudah terjadi dan berjalan sejak demonstrasi dikenal dalam setiap pergerakan protes kebijakan.  Semua orang pasti sudah tahu, insiden demonstrasi UU Cptak Kerja di Bandung ini bukan insiden pertama.

Peristiwa seperti ini bukan saja di Indonesia, hal yang sama terjadi hampir seluruh belahan dunia, termasuk di Amerika Serikat sendiri, yang sistem ketatanegaraannya menjunjung tinggi kebebasan yang sangat luas sebagai sebuah ideologi.

Sebagai sebuah negara yang mengklaim diri sebagai dedengkot demokrasi, Amerika Seriikat memberikan kebebasan luas terhadap aksi demonstrasi.  Hal ini tentu saja memberikan banyak pembelajaran dan pengalaman negara tersebut berhadapan dengan "demonstrasi ekstrim". 

Lalu, sebuah pembelajaran apa yang dapat ditarik dari peristiwa semacam ini, dimana demonstrasi dengan tindakan ekstrim mewarnai kegiatan unjuk rasa yang berujung pada kerusakan yang merugikan orang banyak sebagaimana demo UU Cipta Kerja di Bandung?  

Robb Willer, sosiolog Universitas Stanford dan rekannya menulis studi tentang "The Psychology of Effective Protest" atau kurang lebih maksudnya adalah psikologi protes yang efektif, yang ditulis sejak awal tahun 2017 menegaskan hasil penelitiannya menunjukkan mengapa protes non-kekerasan bekerja lebih baik daripada taktik ekstrem.

Peneliti menjelaskan bahwa prototipe protes ekstrim adalah sesuatu di mana vandalisme terjadi atau kekerasan mengancam, atau pengunjuk rasa berperilaku dengan cara kekerasan, atau menutup jalan raya.   Sedangkan protes moderat digambarkan sebagai protes tanpa retorika atau kekerasan yang penuh kebencian.

Hasil penelitian menunjukkan tiga kesimpulan utama.  Pertama, kelompok masyarakat pendukung suara demonstran menjadi kurang bersimpati dengan demontran ekstrim dan kurang mengidentifikasi menjadi bagian dari demonstran ekstrim tersebut.  Kedua,  sebaliknya pada demonstrasi damai, berbagai kelompok merasa menjadi bagian dari demonstran dan terwakili oleh demonstran.

Ketiga dan terakhir, pada dasarnya demonstran ekstrim mengidentifikasi diri sebagai pendukung kebijakan yang sedang diprotes.  Hal ini mengingat demonstrasi ekstrim dengan kekerasan menyebabkan hilangnya rasa simpati masyarakat umum.

Peneliti menemukan bahwa demonstrasi ekstrim yang membawa kekerasan di dalamnya menyebabkan penghalang besar bagi tujuan demonstasi, karena masyarakat tidak mau mengidentifikasi diri sebagai bagian dari aksi demonstrasi tersebut.  Logikanya hal yang sama terjadi pada insiden demonstrasi UU Cipta Kerja di Bandung.

Willer menyebut “Ketika tatanan sosial sedang sangat terganggu, ketika properti dihancurkan, ketika ada risiko bahaya bagi orang-orang, itu mengarah pada efek dis-identifikasi, di mana orang-orang berkata -Saya tidak seperti orang-orang itu-'”.

Sayangnya, pengunjuk rasa ekstrim yang membawa agenda kekerasan dalam demontrasi tidak menyadari hal seperti ini.  Penyebabnya secara psikologis adalah "orang yang paling percaya bersedia melakukan yang paling ekstrim", lebih parahnya lagi menganggap bahwa taktik kekerasan tersebut akan membantu mengumpulkan dukungan.  Tetapi faktanya, sepenuhnya hal tersebut salah.