Benarkah UU Cipta Kerja Kurangi Waktu Istirahat per Minggu?


Pro kontra pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bagian dari Ombibus Law, dipicu beberapa persoalan yang belum jelas bagi kalangan akar rumput, terutama bagi para pekerja, sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan.  

Salah satunya meyangkut isu pengaturan waktu istirahat dalam UU Cipta Kerja, yang dinilai merugikan buruh karena dianggap terjadi pengurangan hak buruh dibanding aturan yang sama dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Argumentasinya, dinilai waktu istirahat yang diatur dalam UU Cipta Kerja hanya satu hari dalam satu minggu, sedangkan pengaturan sebelumnya dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur 2 hari dalam seminggu..

Apabila dicermati pengaturan waktu istirahat dalam UU Cipta Kerja pasal 79 disebutkan:  (1) Pengusaha wajib memberi:  a. waktu istirahat; dan b. cuti.

Kemudian pada ayat (2) ditegaskan waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan  b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Sebagai pembanding, ketentuan yang sejenis diatur dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 79 ditegaskan (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh; 

Pada ayat (2) ditegaskan waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

Menilik konstruksi struktur kalimat dari kedua pasal yang bersumber dari UU yang berbeda tersebut sesungguhnya tidak terjadi perbedaan signifikan.  Hal ini mengingat pengaturan waktu istitahat pada UU Cipta Kerja menyebutkan frase "paling sedikit", kemudian bersambung dengan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Pada UU No 23 Tahun 2003 pengaturan menyangkut waktu istirahat tidak menggunakan frase "paling sedikit"  tetapi dengan menggunakan kalimat alternatif dengan penggunaan kata "atau" sebagai berikut:  b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Pengaturan waktu istirahat pada kedua Undang-Undang tersebut terbukti tidak menunjukkan adanya perubahan substantif, akan tetapi perubahan tersebut lebih bersifat redaksional dengan kandungan substansi yang relatif sama.

Baca juga:  Penjelasan Kontroversi UU Cipta Kerja

Pada UU Cipta Kerja ditegaskan waktu istirahat yang diberikan pengusaha kepada pekerja/buruh minimal atau paling sedikit satu hari dalam satu minggu, artinya bisa lebih dari itu, misalnya dua hari dalam satu minggu.

Pengaturan yang sama terkait waktu istirahat dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Keternagakerjaan meskipun tidak menggunakan frase paling sedikit" tetapi memiliki maksud yang sama dengan menggunakan kata alternatif "atau"  ditegaskan satu hari dalam satu minggu atau dua hari dalam satu minggu.

Jadi, untuk masalah pengaturan waktu istirahat ternyata yang terjadi hanyalah kesalahpahaman dalam membaca ketentuan UU Cipta Kerja yang dinilai berbeda dengan UU No 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  Padahal faktanya, pengaturan waktu isttirahat per minggu tidak berubah.

Bahkan apabila dimaknai secara lebih longgar,  ketentuan waktu istirahat dalam UU Cipta Kerja memungkinkan diberikannya waktu istirahat lebih dari 2 hari dalam seminggu.  

Hal ini mengingat penggunaan frase "paling sedikit" pada ketentuan "istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu". Kelonggaran yang tidak akan pernah diperoleh dari Undang-Undang sebelumnya (UU No 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).