Pam Swakarsa, Polmas dan Ancaman Covid19


Gagasan pelibatan Pam Swakarsa dalam pengendalian transmisi Covid19 oleh Polri menuai berbagai penilaian, baik dalam bentuk dukungan maupun kontra posisi.   Para pihak yang menyatakan kekurangsetujuannya menekankan alasan terkait dengan "trauma memori" tragedi 1998 yang di dalamnya pernah melibatkan "Pam Swakarsa" untuk menangani kerusuhan dan sempat berhadapan dengan demonstran.

Mengingat pada periode tahun tersebut Pam Swakarsa identik dengan kekerasan, maka lahirlah stigma Pam Swakarsa merupakan pendekatan usang dalam upaya membangun, menjaga, menjamin dan memelihara keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.  Apabila demikian perspektifnya, maka bagaimana dengan berbagai nama lembaga pemerintahan dan non pemerintahan yang dulunya juga menjadi sasaran kritik era demonstrasi 1998.

Misalnya, Polri sendiri atau TNI yang dulu juga sedikit banyak menjadi sorotan pada masa demonstrasi 1998.  Bukankah lembaga ini masih dengan istilah yang sama, namun secara gradual telah berupaya bermetamorfosis sesuai dengan kebutuhan jamannya, yang dilandasi pada Undang-Undang yang baru, dimana Polri dengan UU No 2 Tahun 2002, dan TNI dengan UU No 34 Tahun 2004.

 

Pam Swakarsa dan Polmas (Community Policing

Pam Swakarsa sesungguhnya bukan hanya domain Kepolisian di Indonesia, akan tetapi apabila ditarik secara global, sesungguhnya gagasan ini tidak dapat dilepaskan dari semangat global membangun Pemolisian Masyarakat (Polmas) atau istilah globalnya "Community Policing".

Gagasan dan implementasi Polmas atau Community Policing sesungguhnya bahkan telah berkembang dengan cukup baik di negara-negara maju dan demokratis, bahkan di Amerika Serikat pada awal abad 21  hingga saat ini sebagai koreksi kinerja kepolisian sampai akhir abad 20, yang dulunya lebih bersifat reaktif.

Pendekatan kepolisian usang yang hanya bersifat reaktif (represif) sampai akhir abad 20 di negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat tersebut berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, termasuk semakin menjauhkan hubungan kepolisian dengan masyarakat.  

Tidak berbeda dengan di Indonesia, dulunya di negara-negara tersebut, kepolisian dianggap sebagai lembaga yang menakutkan, demikian juga dengan personelnya, karena sering hadir sebagai sosok yang bersifat menekan dengan semata-mata mengandalkan penegakan hukum (represif) dalam upaya membangun, menjaga, menjamin dan memelihara kamtibmas.

Oleh karena itu, pasca reformasi dan diundangkannya UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolsian Negara Republik Indonesia, perspektif tugas kepolisian di Indonesia mengalami pergeseran seiring sejalan dengan perubahan paradigma Kepolisian global sekaligus sebagai bentuk jawaban terhadap aspirasi tuntutan reformasi.  Pendekatan kepolisian tidak semata-mata bersifat represif atau penegakan hukum, akan tetapi juga mengkepdepankan aspek preemptif atau penangkalan dan aspek preventif  atau pencegehan.

Di sinilah peran agenda Polri yang membangun kemitraan dengan berbagai entitas komunitas masyarakat yang sudah ada, dimana kesadaran global dan pengalaman Kepolisian di dalam negeri dalam membangun, menjaga, menjamin dan memelihara Kamtibmas, tidak dapat dilakukan semata-mata hanya melalui pendekatan represif (penegakan hukum), tetapi harus didahului dengan preemptif dan preventif, dimana peran partisipasi semua komponen dan pranata asosial di masyarakat mengemuka, mendapatkan tempat dan dikedepankan.


Landasan Hukum

Untuk menjamin pertanggungjawabannya, tidak perlu khawatir, semua  kebijakan dan tindakan kepolisian pasca reformasi dalam membangun negara hukum setelah diundangkannya UU No 2 Tahun 2002 didasarkan pada hukum dan prinsip-prinsip Good Governance atau Tata Kelola yang Baik dalam Pemerintahan.  

Sebagai konsekuensi paradigma baru Kepolisian, telah digulirkan Agenda Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2004 - 2009, yang salah satu agendanya terkait dengan poin ketiga menyangkut MENINGKATNYA KAPABILITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI, yang di dalamnya termasuk PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Hasilnya, sejak 2005 hingga 2020, Polri telah melahirkan 300 lebih Peraturan Kapolri (Perkap) ataupun Peraturan Kepolisian RI (Perpol) yang bisa diakses oleh siapa saja, termasuk melalui media online.  Hal ini menegaskan Polri merupakan lembaga penegak hukum yang paling siap membangun peradaban negara hukum, bukan negara kekuasaan.  

Transparansi peraturan perundang-undangan yang bisa diakses oleh siapa saja tersebut menunjukkan bahwa setiap orang dipersilahkan dengan terbuka mengetahui peraturan yang berlaku sehingga semakin menutup celah peluang terjadinya permainan peraturan. 

Pam Swakarsa dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dirumuskan dan diatur dalam 

a.   Pasal 3 (1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Dalam penjelasan pasal 3 huruf C dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk pengamanan swakarsa" adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam "lingkungan kuasa tempat" (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan. Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri. 

b.  Pasal 14, Ayat (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:  f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

c.  Pasal 15, Ayat (2)  Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.

Kemudian lebih lanjut, ketiga ketentuan pasal yang memberikan pijakan hukum terhadap eksistensi dan peran Pam Swakarsa dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia itu kemudian diterjemahkan secara teknis operasional  dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) No 4 Tahun 2020.
 

Pam Swakarsa dan Pandemi Covid19

Seiring dengan perkembangan kasus transmisi Covid19 yang semakin meningkat di Tanah Air dan belum menunjukkan tanda-tanda melandai, maka yang dibutuhkan adalah upaya bersama antara Pemerintah dengan segenap komponen masyarakat, dimana tindakan pencegahan sebagaimana kekhasan pendekatan Kepolisian di era modern dan global menekankan partisipasi masyarakat, termasuk komponen-komponen satuan keamanan di lingkungan masyarakat, yang lahir dari kearifan lokal atau pranata sosial setempat, dan diakui keberadaannya secara substantif dalam peraturan perundang-undangan.

Keberadaan Pecalang di Bali, misalnya itu sudah terbukti mampu menjalin kerjasama fungsi kepolisian terbatas dengan Kepolisian setempat dalam membangun kondisi lingkungan yang kondusif bagi terpeliharanya kamtibmas, demikian juga dengan satuan-satuan keamanan lainnya yang lahir dari rahim kearifan lokal atau pranata sosial di masyarakat.  

Bahkan kalau mau jujur, keberadaan "kelompok anggota masyarakat penjaga pasar" mau tidak mau harus diakui cukup efektif membangun budaya keamanan di pasar-pasar tradisional.  Semua pihak tidak dapat menutup mata terkait realitas ini.  Sedangkan Polri harus bekerja berdasarkan realitas bukan hanya sekedar berteori, karena pekerjaan Polri yang sesungguhnya ada di lapangan bersama masyarakat bukan sekedar di atas lembaran catatan, tulisan dan teori.

Hal ini bukan berarti, Polri mengkedepankan "wajah kekerasan" dalam membangun kesadaran berdisiplin dengan protokol kesehatan melawan Covid19.  Pendekatan ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya besar membangun dan mendukung seluruh kebijakan yang memungkinkan disiplin protokol kesehatan dipatuhi di setiap situasi, kondisi tempat dan waktu yang berbeda.

Tidak mungkin juga membangun kesadaran disiplin protokol kesehatan melawan Covid19 di sekolah atau di lingkungan pengajian misalnya dengan memanfaatkan  pemberdayaan "kelompok anggota masyarakat penjaga pasar", tentu saja lebih tepat apabila didekati dengan himbauan dari para pelaku dunia pendidikan dan tokoh agama.  Semua memiliki peruntukannya sendiri, berdasarkan penilaian situasi, kondisi, tempat dan waktu yang berbeda.   Itulah pentingnya pemikiran yang mengkedepankan kebijaksanaan dengan mempertimbangkan kearifan lokal ataupun pranata sosial di dalamnya.