Pilkada Era Pandemi, Mana yang Lex Specialis: UU Terkait Kedaruratan Kesehatan atau UU Pilkada


Perdebatan seputar ditunda atau tidaknya Pilkada 2020 masih memanas, terutama terkait dengan masih belum ada tanda-tanda terkendalinya pandemi Covid19.  Salah satu pokok persoalan adalah menyangkut ketidakpastian kapan pandemi Covid19 akan berakhir dan persoalan lainnya menyangkut tentang pengendalian disiplin protokol kesehatan apabila Pilkada terus berlangsung.

Terkait masalah penegakan disiplin protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada apabila agenda ini masih dipertahankan terus berlangsung, tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan konstruksi hukum yang menjadi dasar pijakan.

Sebagian pihak merasa dibutuhkan sebuah Perpu untuk mengatur Pilkada khusus pada era pandemi Covid19, mengingat UU Pilkada tidak mengatur secara khusus atau mengantisipasi keadaan darurat kesehatan sebagaimana yang dialami saat ini ketika pandemi Covid19 mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan.

Pihak yang lain, termasuk KPU di dalamnya memandang pengetatan protokol kesehatan cukup diatur dengan PKPU (Peraturan KPU) tanpa memberikan alasan konstruksi hukumnya, yang oleh sebagian pihak lain, pandangan semacam ini ditolak dengan argumentasi bahwa UU Pilkada membolehkan berbagai rangkaian kegiatan Pilkada termasuk kampanye yang melibatkan massa dengan keramaian, yang sesungguhnya bertentangan dengan protokol kesehatan.

Lalu, bagaimana seharusnya mendudukkan konstruksi hukum antara peraturan perundang-undangan terkait Kedaruratan Kesehatan dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelengggaraan Pilkada?  Mana yang bersifat lex specialis di antara keduanya?

Bagi peserta Pilkada, termasuk pihak lain yang pro dengan ini, mungkin merasa tidak terlalu sulit menjawab bahwa peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelengggaraan Pilkada merupakan lex speacialis bagi penyelenggaraan Pilkada.

Biasanya, argumentasi sederhananya adalah karena sedang menjalankan kegiatan Piilkada maka secara khusus harus tunduk terlebih dahulu pada UU Pilkada, sebelum tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.  

Namun, apabila argumentasi seperti ini yang dikedepankan, maka justifikasinya akan sangat mudah dipatahkan.  Hal ini mengingat banyak sekali peraturan perundang-undangan yang bermuatan senada dengan UU Pilkada, dimana tidak diatur di dalamnya terkait protokol kesehatan, tetapi nyatanya harus tunduk pada UU terkait Kedaruratan Kesehatan.

Perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum juga mendasarkan operasionalnya secara hukum dengan undang-undang yang relevan, misalnya UU tentang Perseroan Terbatas, di sana tidak diatur tentang prootokol kesehatan.  Lalu apakah UU tentang Perseroan Terbatas lex specialis dibanding UU terlait Kedaruratan Kesehatan?

UU tentang Ketenagakerjaan juga tidak melarang aktivitas penyelenggaraan pekerjaan yang tidak terkait dengan protokol kesehatan, apakah itu artinya para pekerja bebas tidak taat protokol kesehatan karena UU Ketenagaerjaan bersifat lex specialis dibanding UU terkait Kedaruratan Kesehatan?

Masih banyak lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang membolehkan berbagai kegiatan yang bertentangan dengan protokol kesehatan, tetapi faktanya harus tunduk pada ketentuan terkait dengan Kedaruratan Kesehatan.

Kalau sudah demikian, sesungguhnya mana yang bersifat lex specialis, peraturan perundang-undangan terkait Kedaruratan Kesehatan ataukah peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelengggaraan Pilkada? 

Berdasarkan penjelasan berbagai kasus di atas tentu saja dengan mudah dapat dijawab bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Kedaruratan Kesehatan merupakan lex specialis bagi peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelengggaraan Pilkada.

Bagaimana logika konstruksi hukumnya?  Maka patutlah dipahami dari penggalan frase singkat ini:  "Pilkada di Era Pandemi".  Pada frase tersebut jelas menegaskan bahwa yang bersifat umum adalah Pilkada karena Pilkada bisa berlangsung kapan saja termasuk di Era Non Pandemi, sehingga yang bersifat khusus adalah Pandemi.

Pandemi adalah keadaan sangat khusus terhadap berbagai keadaan lainnya, yang kemudian melahirkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Kedaruratan Kesehatan, sehingga konsekuensinya menempatkan ketentuan tersebut sebagai Lex Specialis (Ketentuan Khusus) di atas semua ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.  

Jadi, frasenya tidak boleh dipotong hanya "Pilkada" saja, yang konsekuensinya menempatkan UU Pilkada sebagai lex specialis di atas ketentuan UU terkait Kedaruratan Kesehatan.  Hal ini sebagaimana Kegiatan Usaha di Era Pandemi, Bisnis di Era Pandemi, Penyelenggaraan Pemerintahan di Era Pandemi, Pelayanan Publik di Era Pandemi, Demonstrasi di Era Pandemi, Kegiatan Perkantoran di Era Pandemi, Kegiatan Pertokoan di Era Pandemi, dan seterusnya.  

Semua kegiatan itu tunduk pada peraturan perundang-undangan tertentu yang secara khusus mengaturnya, tetapi pada era pandemi Covid19 ini harus lebih khusus lagi tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Kedaruratan Kesehatan  (lex specialis di atas lex specialis). 

Adagium atau asas atau prinsip hukum "Lex Specialis Derogat Legi Generalis" atau hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum harus dimaknai secara filosofis dan substansial merdasarkan spirit atau semangat yang dikandung dalam prinsip itu sendiri, dibanding sekedar memaknainya sebagaimana selama ini sering dibatasi hanya pada ruang lingkup pengaturan spesifik suatu peraturan perundang-undangan, tanpa melihat secara spesifik tujuan peraturan untuk setiap pasal-pasalnya.

Jadi kesimpulannya, tidak perlu harus ada Perpu hanya untuk mengatur disiplin protokol kesehatan, termasuk melarang keramaian, cukup PKPU yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan Kedaruratan Kesehatan dan dikonstruksikan dengan ketentuan Undang-Undang Pilkada.

Kemudian, penguatan atas PKPU yang dimaksud secara hukum dapat dilakukan dengan pendekatan melalui permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung untuk mendapatkan dukungan legalitas bahwa PKPU tersebut tidak bertentangan dengan berbagai ketentuan Undang-Undang yang berlaku, sekaligus untuk mengantisipasi judicial review PKPU tersebut pada masa mendatang.

Apabila ada peserta Pilkada yang melanggar PKPU akan berhadapan dengan PKPU dan UU terkait Kedaruratan Kesehatan yang relevan,  termasuk sanksi pidana di dalamnya yang berkonsekuensi pada dijatuhkannya sanksi administratif sesuai dengan ketentuian peraturan perundang-undangan terkait Pilkada, ketika peserta Pilkada terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU terkait Kedaruratan Kesehatan.

 Baca juga:   Pidana Jerat Pelanggar Protokol Kesehatan