Curiga, kecewa, marah, dan putus asa, itulah sedikit gambaran ekspresi perasaan banyak orang atau berbagai kalangan ketika merasa kepentingannya terganggu akibat pembatasan aktivitas, hobi dan kesenangan bahkan lahan mencari nafkah atau menekuni profesi pun menjadi sangat terbatas disebabkan merebaknya pandemi Covid19.
Lebih jauh lagi, membaca komentar-komentar miring dan miris di berbagai platform media sosial atau yang berkembang di masyarakat yang memunculkan asumsi, anggapan dan teori bahwa Covid19 adalah bagian dari konspirasi, bagian dari upaya "menjegal" kepentingan seseorang, termasuk misalnya kepentingan pada saat Pilkada atau saat menjelang Liga 1 digulirkan dan seterusnya.
Biasanya argumentasi yang disampaikan didasarkan pada berbagai fakta yang dipahami secara tiidak lengkap, kemudian akhirnya menimbulkan kesmpulan yang bias dan menyesatkan bagi banyak orang dan beragam kalangan.
Angapan-anggapan itu seperti misalnya ditemukannya fakta kebetulan ada orang nekat mencium jenazah orang meninggal terkonfirmasi Covid19 tetapi tidak tertular Covid19, ramai-ramai berkerumun tetapi tetap bugar, dan keadaan sehat-sehat saja tetapi positif Covid19.
Ada juga ada anggapan yang berkembang dimana dokter tidak memakai APD tetap aman dari Covid19 karena menanggap transmisi hanya dari bersin sehingga berperilaku sembrono, dan ini kesalahan paling umum dan tidak disadari yakni setelah Rapid Test atau PCR test berarti aman dan merasa tidak perlu ikut menerapkan protokol kesehatan.
Persoalan-persoalan seperti ini harus dituntaskan dan dijelaskan secara lengkap, karena bisa jadi pemahaman yang tidak lengkap dan tidak tepat seperti ini menjadi salah satu kontributor utama mengapa sebagian masyarakat sampai saat ini masih enggan mentaati dan berdisiplin protokol kesehatan.
Harus dipahami bahwa semua transmisi atau penularan Covid19 itu bersifat "peluang", "dimungkinkan" atau "probabilitas" bukan pasti tertular 100% ketika berinteraksi dengan orang positif Covid19, sangat tergantung dari kondisi obyektif sumber penularan, tidak hanya terkait dengan perilaku "recipient" virus (calon orang tertular).
Belum lama ini kita mendengar bahwa ada orang mencium jenazah orang meninggal Covid19 tetapi ketika di swap test ternyata hasilnya negatif. Fakta ini tidak dapat dipahami bahwa mencium atau kontak langsung dengan jenazah terkonfirmasi Covid19 aman dari transmisi Covid19.
Apalagi masih muncul anggapan karena transmisi Covid19 melalui droplet dan melihat fakta bahwa jenazah tidak lagi bisa bersin atau batuk, maka ditarik kesimpulan menyesatkan bahwa kontak dengan jenazah positif Covid19 tidak berbahaya dan tidak berisiko tertular Covid19.
Semua itu tergantung dari banyak faktor, jenazah positif Covid19 bisa atau tidak bisa menularkan Covid19 tergantung dari perilaku pasien saat masih dirawat. Apakah pasien ketika dirawat berperilaku batuk dan bersin sembarangan sehingga droplet tersebar ke berbagai bagian tubuhnya.
Semua itu tidak dapat diawasi juga oleh petugas kesehatan selama 24 jam penuh di fasilitas kesehatan tempat pasien pada saat dirawat, bisa jadi pada malam hari ketika tidur kemudian bersin tak disadari atau air liur keluar sampai ke wajah atau kemungkinan lainnya, atau apakah proses memandikan jenazah dengan sabun juga sudah pasti menjamin 100% bebas Covid19, dan seterusnya.
Bisa juga, apakah ketika pasien dibungkus dengan cara khusus itu juga mampu menjamin virus tidak berpindah ke bagian luar pembungkus, sementara petugas yang melakukan tugas tersebut menggunakan APD sehingga tetap terjaga keamanannya.
Itu semua tidak ada alat ukur untuk memastikannya, sehingga ditetapkanlah protokol kesehatan untuk jenazah Covid19 untuk tujuan kehati-hatian mengurangi segala risiko yang masih dimungkinkan terjadinya transmisi virus dari jenazah terkonfirmasi Covid19 ke orang lain.
Demikian juga dengan orang yang kelihatannya bugar tetapi terkonfirmasi Covid19, ini mungkin sudah banyak yang memahami tetapi masih ada saja yang belum mengerti bahwa kondisi tersebut dimungkinkan diakibatkan daya tahan tubuh setiap orang berbeda. Orang dengan daya tahan tubuh yang kuat dimungkinkan terkena Covid19 tanpa keluhan dan tanpa gejala.
Tetapi ketika kondisi seperti ini dibiarkan terus berlangsung, tanpa perawatan yang memadai baik ketika memutuskan isolasi mandiri atau isolasi di fasilitas kesehatan, maka risiko maut bisa terjadi ketika keadaan hapioksia atau heppyoxia (happy hypoxia) mulai menyerang, dimana seringkali terjadi ketika Covid19 mengenai orang dengan daya tahan tubuh yang baik secara fisik sehingga merasa tetap baik-baik saja (happy-happy saja).
Tetapi lama-kelamaan ketika serangan Covid19 sudah menyebabkan kerusakan pada tingkat tertentu di bagian paru-paru, yang berdampak pada kadar saturasi oksigen di darah sudah sangat rendah dan tidak dapat lagi ditoleransi oleh tubuh yang bugar dan kuat tersebut, maka yang terjadi justru akibat fatal, sehingga ditemukan beberapa kasus dengan gejala seperti ini langsung meninggal karena hapioksia.
Termasuk isu yang sempat viral dan berkembang bahwa ada pernyataan seorang ustadz yang menyitir pendapat dokter yang merawatnya ketika tidak menggunakan APD, dengan menyatakan bahwa penularan Covid19 dari bersin sehingga menyimpulkan di luar sana banyak pemahaman yang menyesatkan dengan menerapkan protokol kesehatan berlebihan termasuk menggunakan APD.
Tidak masalah apabila yang dirawat pasien yang memiliki kebiasaan baik tidak bersin dan batuk sembarangan baik pada saat sadar ataupun ketika tidur, karena dengan demikian tidak ada risiko droplet jatuh berserakan dan bertebaran ke berbagai bagian tubuh dan lingkungan di sekitar pasien, seperti sprai, tempat tidur, lantai, dan seterusnya sehingga tidak ada risiko penularan.
Tetapi apakah bisa menjamin hal ini tidak terjadi Oleh karena itu untuk kehati-hatian ditetapkan protokol kesehatan untuk mengurangi risiko transmisi Covid19. Jadi, patut disadari semua pihak bahwa protokol kesehatan itu bertujuan untuk mengurangi risiko transmisi Covid19 seminimal mungkin.
Sama halnya dengan persoalan orang yang sudah Rapid Test saja ketika sudah non reaktif dalam perjalanan merasa bebas dari Covid19 sehingga berperilaku sembarangan ketika di dalam armada angkutan umum seperti kendaraan darat ataupun ketika di pesawat. Padahal Rapid Test tidak menjamin 100% orang non reaktif berarti bebas Covid19.
Baca juga: Rapid Test, PCR dan Risiko Covid19
Demikian juga dengan PCR test tidak ada jaminan hasilnya 100% bebas Covid19, oleh karena itu semua orang yang sudah menjalankan test baik Rapid Test ataupun PCR test tetap harus berdisiplin mengikuti protokol kesehatan. Semua instrumen test tersebut digunakan sebagai ikhtiar mengurangi risiko transmisi Covid19, bukan 100% bebas Covid19.
Semoga dengan bertambahnya pemahaman kita terhadap pentingnya berdisiplin dengan menerapkan protokol kesehatan mampu meningkatkan kesadaran untuk senantiasa tetap berkomitmen menjaga kesehatan tubuh dari risiko terpapar Covid19 dan secara konsisten berperilaku setiap hari setiap waktu untuk disiplin mengikuti protokol kesehatan.