Mitos seputar dampak membahayakan radiasi gelombang radio, yang dipancarkan oleh jaringan nirkabel seluler selama ini masih cukup mengemuka, apalagi mitos tersebut dirujukkan pada beberapa klaim hasil penelitian yang tampaknya belum secara spesifik memilah variabel determinan (penentu)nya.
Lebih jelasnya, klaim penelitian-penelitian tersebut terkesan belum secara spesifik melakukan riset dengan pendekatan direct impact (dampak langsung) dari gelombang dalam rentang frekuensi radio (RF = Radio Frequency), dengan menghilangkan atau menyingkrikan faktor-faktor atau variabel-variabel pengganggu yang memiliki potensi besar membiaskan kesimpulan penelitian.
Doktrin berbasis pada fakta empiris selama ini, menunjukkan bahwa perubahan di tingkat molekuler, atomik atau bahkan sub atomik akibat radiasi gelombang elektromagnetik hanya akan terjadi apabila gelombang elektromagnetik membawa energi yang cukup tinggi atau lebih dikenal dengan sebutan radiasi pengion.
Baca juga: Transformasi 5G: Bagaimana dengan Dampak Sosial Ekonominya?
Energi gelombang elektromagnetik yang cukup tinggi tersebut, memiliki kemampuan yang cukup untuk mengakibatkan perubahan atomik ataupun sub atomik, sebagaimana yang terjadi pada reaksi nuklir.
Sehingga apabila radiasi tersebut mengenai bagian dari sistem organ ataupun organ makhluk hidup dapat menyebabkan terjadinya mutasi DNA dari organik di tingkat sel sekalipun, sehingga memicu berbagai penyakit akibat terjadinya perubahan sel di luar kewajaran.
Namun tidak demikian dengan radiasi geloimbang jaringan seluler, yang memanfaatkan gelombang radio frekuensi menengah tinggi. Untuk meyakinkan betapa amannya radiasi gelombang radio, meski dengan frekuensi radio super tinggi (Tremendously High Frequency) yang frekuensinya 300 GHz - 3000 GHz dan memiliki panjang gelombang radio paling pendek (0.1 mm - 1 mm) sekalipun, cukup dibandingkan dengan spektrum cahaya tampak (visible spectrum) yang setiap hari radiasinya mengenai tubuh manusia.
Radiasi gelombang sinar tampak sebagaimana cahaya lampu, tak pernah lepas berinteraksi dengan tubuh manusia, padahal spektrum frekuensinya jauh lebih besar dibanding spektrum frekuensi gelombang radio yang pada sisi frekuensi menengah tingginya dimanfaatkan sebagai jalur jaringan internet nirkabel.
Spektrum cahaya kasat mata (Visible Spectrum) memiliki frekuensi gelombang elektromagnetik dalam spektrum optik, sehingga mata normal manusia dapat mendeteksi panjang gelombang dari 400 sampai 700 nm atau dalam rentang frekuensi 790-400 terahertz.
Panjang gelombang sinar tampak sebesar 400 nm sampai 700 nm tersebut, jauh lebih pendek dari panjang gelombang radio, bahkan apabila dibandingkan dengan panjang gelombang radio dengan frekuensi tertinggi seperti Tremendously High Frequency sekalipun, dengan panjang gelombang 0.1 mm - 1 mm atau pada rentang frekuensi 300 GHz - 3000 GHz.
Hingga tulisan ini dibuat, tidak pernah ada satu pun penelitian ataupun klaim yang menyebut radiasi sinar lampu yang dipasang di setiap rumah berdampak buruk terhadap kesehatan, padahal sekali lagi, kekuatan energi gelombangnya jauh lebih tinggi dibanding dengan radiasi elektromagnetik jaringan seluler yang memanfaatkan gelombang radio dengan frekuensi menengah tinggi.
Baca juga: Kapan Internet Super Cepat 5G Dikomersialkan di Indonesia?
Apabila radiasi gelombang elektromagnetik dari jaringan seluler, termasuk spektrum frekuensi radio untuk jaringan 5G global sebesar 28 GHz berdampak buruk pada kesehatan, maka mestinya radiasi sinar lampu yang terpasang di setiap rumah lebih dahulu harus disingkirkan karena kekuatan energi gelombang elektromagnetiknya jauh lebih tinggi dibanding gelombang radio untuk jaringan seluler.
Dengan demikian, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pemanfaatan spektrum frekuensi gelombang radio sebagai jalur jaringan transportasi data internet Broadband, termasuk yang dialokasikan untuk jalur internet super cepat 5G.
Baca juga: Inilah Perbedaan Mencolok 5G Dibanding 4G