Sebagian orang salah memahami eksistensi dan penempatan "people power" sebagai sarana dan senjata mendorong suksesi kekuasaan, membentuk pemerintahan baru. Hal ini setidaknya terungkap dari berbagai pernyataan yang terus digulirkan di media sosial dan menyesatkan sebagian orang lainnya.
Peristiwa tahun 1998 yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto, dan tahun 1966 yang diwarnai dengan turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan pemerintahan tak layak dan tak relevan dijadikan dasar sebagai sebuah pembanding dan dasar pembenar.
Mestinya disadari bahwa perbedaan mencolok sistem hukum pada tahun 1966 dan tahun 1998 dengan masa pasca reformasi setelah pemilihan Presiden digelar secara langsung adalah pada saat ini kehendak menentukan siapa yang duduk sebagai Presiden negeri ini dilakukan langsung oleh rakyat secara demokratis, tanpa melalui perwakilan.
Saat ini, kehendak rakyat itu langsung tercermin dari balik bilik-bilik suara ketika pemilu digelar, bukan lagi melalui atau didasarkan pada keputusan wakil rakyat yang belum tentu sama, sebentuk, kongruen dan sejalan dengan aspirasi rakyat secara langsung.
Menjadi sangat aneh dan mengada-ada, ketika masih ada pemikiran sebagian pihak yang merasa mengatasnamakan aspirasi rakyat, menggalang kekuatan jalanan dengan berbagai isu, bahkan isu hoax pun bertebaran, hanya dengan tujuan mengganti kekuasan secara paksa melalui jalan pengerahan massa, sementara rakyat di bawah sana, sudah dengan sangat jelas menentukan dan mendeklarasikan keputusannya melalui pemilu.
Konstitusi masa lalu tak memberikan pintu solusi ketika Pemimpin Negara dianggap telah melanggar konstitusi, melenceng dari tujuan berbangsa dan bernegera. Namun saat ini, ketika Presiden telah melanggar konstitusi, maka telah diatur mekanismenya melalui sidang Istimewa dan putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi.
Tak sebagaimana sebelum reformasi dan sistem pemilihan presiden langsung digelar, tekanan massa melalui "people power" saat ini tak memiliki taji kekuatan maha benar menentukan keberlangsungan pemerintahan dengan mengganti Presidennya.
Apabila dimaksudkan pengerahan massa jalanan dijadikan sebagai sarana memaksa Sidang Istimewa melengserkan pemerintahan, maka pemikiran seperti itu tampaknya hanya merupakan warisan usang dari orde pra reformasi, yang belum di-install kembali dengan sistem berbangsa dan bernegara yang baru.
Sidang Istimewa tidak dapat digelar hanya karena adanya ancaman massa, bahkan wakil rakyat sebagai representasi rakyat sekali pun, tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya secara de facto dan de jure. Apabila memaksa, maka semua perangkat kekuatan negara dapat dikerahkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum "penyelenggaraan sidang Istimewa inkonstitusional".
Studi kasus pelengseran Presiden Korea Selatan ataupun pemimpin dunia dari negara demokratis lainnya pun tak dapat dianggap sebagai dasar argumentasi. Hal ini mengingat Presiden Korea Selatan diturunkan dari jabatannya juga karena didahului adanya bukti perbuatan telah melanggar konstitusi, bukan karena desakan massanya.
Pada masa atau era sekarang ini, desakan massa sehebat apapun tak kan dapat menggoyahkan kedudukan Presiden, sepanjang Presiden berpegang teguh dan tidak menyimpang dari konstitusi. Secara konstitusional rakyat yang jauh lebih representatif dibanding kekuatan massa jalanan, yang disebut sebagai kekuatan aspirasi rakyat yang sesungguhnya telah membuat keputusannya melalui pemilu, bukan melalui pengerahan massa jalanan.
Pihak yang kebetulan kurang beruntung dalam kompetisi pemilu sekalipun, sesungguhnya telah bersepakat bahwa kekuatan rakyat (people power) yang sesungguhnya ada di pemilu, bukan pada pengerahan massa jalanan, bahkan mengakui seluruh perangkat penyelenggaraan pemilu. Hal itu ditunjukkan dengan mendaftar, mengikuti dan berkompetisi dalam kontestasi pemilu dari awal hingga pemungutan suara digelar.
Oleh karena itu, segala upaya pengerahan massa jalanan yang berniat, mendesak dan berharap pemerintahan lengser ataupun jatuh menjadi inkonstitusional dan setiap usaha, perbuatan dan pelakunya dapat ditindak dan dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Tindakan tersebut bukanlah wujud dari "pembelengguan aspirasi di era demokrasi", karena hukum yang ditentukan rakyat secara demokratis melalui wakilnya di parlemen juga sudah memberikan rambu batasan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam suasana yang demokratis.