Belum genap sehari pasca pemilu digelar serentak di tanah air, hasil pemilu 2019 sudah dapat diestimasi berdasarkan survei yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Quick Count, yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei resmi yang terdaftar di KPU seperti LSI Deni JA, SMRC, Litbang Kompas, Indo Barometer, Median, dan lembaga lainnya.
Litbang Kompas misalnya, menggunakan sampel 2000 TPS yang diambil secara random berjenjang dari seluruh TPS di Indonesia yang berjumlah 800.000 lebih TPS, dengan hasil 54% lebih untuk keunggulan pasangan Jokowi Amin. Beberapa lembaga survei pun mendapatkan hasil survei serupa, dimana Jokowi Amin unggul atas pasangan Prabowo Sandi.
Namun tak berselang lama setelah itu, kubu 02 mempublikasikan hasil Exit Poll dan Quick Count dari 5000 TPS, yang diklaim memenangkan pasangan 02 di atas 60%. Reza Patria dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi menyebut bahwa data yang diperoleh pihaknya bersumber dari “Real Count”.
Hal ini menegaskan bahwa 5000 TPS yang diklaim sebagai sumber data kemenangan pasangan 02 ternyata diperoleh dari mekanisme Real Count. Maka menjadi sangat wajar apabila hasilnya sangat berbeda dari hasil Quick Count lembaga-lembaga survei kredibel dan terkemuka.
Lalu masalahnya dimana?
Masalahnya adalah ketika di-declare “Real Count 5000 TPS” maka seketika itu sudah tergambar bahwa hasilnya tidak akan mampu menjamin dan tidak akan mampu merepresentasikan populasi secara keseluruhan atau sederhananya tidak akan mampu menggambarkan secara pasti keadaan sesungguhnya dari hasil pemilu secara keseluruhan.
Kok bisa? Mengapa Quick Count yang jumlahnya lebih sedikit yakni hanya 2.000 TPS justru dinilai bisa mewakili hasil pemilu secara keseluruhan?
Kata kuncinya ada di “cara mengambil cuplikan” atau dalam istilah metodologi penelitian lebih dikenal sebagai “teknik sampling”. Teknik sampling atau cara mengambil cuplikannya harus representatif atau menjamin keterwakilan dari populasi (seluruh TPS) sehingga mampu menerminkan hasil pemilu secara keseluruhan.
Bagaimana caranya? Sederhana, dengan menggunakan teori probabilitas dari sisi jumlah dan kesempatan (peluang). TPS secara keseluruhan harus memiliki kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian, artinya pengambilan sampel harus random (acak), tidak bisa kalau hanya asal ambil sampel sembarangan, atau laporan masuk yang langsung diakumulasi jelas akan mengandung bias yang tinggi.
Jadi, real count 5.000 TPS yang tidak menjamin sampel random (acak) tidak memberikan informasi apapun terkait dengan hasil pemilu secara keseluruhan karena seluruh TPS tidak memiliki kesempatan (peluang) yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian.
Sedangkan quick count 2.000 TPS justru representatif mewakili gambaran keseluruhan dari hasil pemilu karena teknik sampingnya atau cara mengambil cuplikannnya telah dirancang sedemikian rupa, sehingga memberikan kesempatan (peluang) yang sama kepada seluruh TPS untuk dijadikan sampel dengan pendekatan metode mutistage random sampling.
Litbang Kompas misalnya, menggunakan sampel 2000 TPS yang diambil secara random berjenjang dari seluruh TPS di Indonesia yang berjumlah 800.000 lebih TPS, dengan hasil 54% lebih untuk keunggulan pasangan Jokowi Amin. Beberapa lembaga survei pun mendapatkan hasil survei serupa, dimana Jokowi Amin unggul atas pasangan Prabowo Sandi.
Namun tak berselang lama setelah itu, kubu 02 mempublikasikan hasil Exit Poll dan Quick Count dari 5000 TPS, yang diklaim memenangkan pasangan 02 di atas 60%. Reza Patria dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi menyebut bahwa data yang diperoleh pihaknya bersumber dari “Real Count”.
Hal ini menegaskan bahwa 5000 TPS yang diklaim sebagai sumber data kemenangan pasangan 02 ternyata diperoleh dari mekanisme Real Count. Maka menjadi sangat wajar apabila hasilnya sangat berbeda dari hasil Quick Count lembaga-lembaga survei kredibel dan terkemuka.
Lalu masalahnya dimana?
Masalahnya adalah ketika di-declare “Real Count 5000 TPS” maka seketika itu sudah tergambar bahwa hasilnya tidak akan mampu menjamin dan tidak akan mampu merepresentasikan populasi secara keseluruhan atau sederhananya tidak akan mampu menggambarkan secara pasti keadaan sesungguhnya dari hasil pemilu secara keseluruhan.
Kok bisa? Mengapa Quick Count yang jumlahnya lebih sedikit yakni hanya 2.000 TPS justru dinilai bisa mewakili hasil pemilu secara keseluruhan?
Kata kuncinya ada di “cara mengambil cuplikan” atau dalam istilah metodologi penelitian lebih dikenal sebagai “teknik sampling”. Teknik sampling atau cara mengambil cuplikannya harus representatif atau menjamin keterwakilan dari populasi (seluruh TPS) sehingga mampu menerminkan hasil pemilu secara keseluruhan.
Bagaimana caranya? Sederhana, dengan menggunakan teori probabilitas dari sisi jumlah dan kesempatan (peluang). TPS secara keseluruhan harus memiliki kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian, artinya pengambilan sampel harus random (acak), tidak bisa kalau hanya asal ambil sampel sembarangan, atau laporan masuk yang langsung diakumulasi jelas akan mengandung bias yang tinggi.
Jadi, real count 5.000 TPS yang tidak menjamin sampel random (acak) tidak memberikan informasi apapun terkait dengan hasil pemilu secara keseluruhan karena seluruh TPS tidak memiliki kesempatan (peluang) yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian.
Sedangkan quick count 2.000 TPS justru representatif mewakili gambaran keseluruhan dari hasil pemilu karena teknik sampingnya atau cara mengambil cuplikannnya telah dirancang sedemikian rupa, sehingga memberikan kesempatan (peluang) yang sama kepada seluruh TPS untuk dijadikan sampel dengan pendekatan metode mutistage random sampling.