Belum lama ini, Capres nomor urut 02, Prabowo Subiyanto dalam orasi kebangsaannya di Yogyakarta menyampaikan ekonomi Indonesia bermasalah dengan menyebut kekayaan bangsa Indonesia uang 11.000 triliun tidak tinggal di Indonesia.
Beliau menyimpulkan uang WNI di luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding yang tersimpan di perbankan nasional yang hanya mencapai 5.000 triliun lebih.
Pernyataan tersebut kemudian mendapatkan “sambutan hangat” dari kubu 01, termasuk Capres Petahana Joko Widodo. Dalam pernyataan beliau, pak Jokowi menegaskan kalau memang punya bukti silahkan dilaporkan.
Beliau menyimpulkan uang WNI di luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding yang tersimpan di perbankan nasional yang hanya mencapai 5.000 triliun lebih.
Pernyataan tersebut kemudian mendapatkan “sambutan hangat” dari kubu 01, termasuk Capres Petahana Joko Widodo. Dalam pernyataan beliau, pak Jokowi menegaskan kalau memang punya bukti silahkan dilaporkan.
Segera, setelah itu kubu 02 menimpali bahwa pak Jokowi lupa dengan pernyataannya sendiri, karena beliau pernah menyampaikan bahwa 11.000 triliun lebih aset WNI berada di luar negeri.
Bagaimanakah sesungguhnya mendudukkan kontroversi 11.000 triliun tersebut?
Bagi pak Jokowi sebagai Presiden, menyampaikan angka 11.000 triliun lebih adalah bagian dari upaya besar mensukseskan tax amnesty dan faktanya sangat berhasil dengan menjadikan program tax amnesty Indonesia menjadi paling sukses di dunia dibanding negara-negara lain.
Bagi pak Jokowi, data 11.000 trliun itu adalah data yang dinamis, karena faktanya ada berbagai lembaga me-release data yang berbeda menyangkut aset WNI secara kumulatif yang berada di luar negeri.
Bank Indonesia misalnya menyebut sekitar 3.000 triliun lebih, Kemenkeu menegaskan 11.000 triliun lebih, termasuk Bambang Brojonegoro menyebut 11.000 triliun lebih dengan aset likuid (yang mudah dicairkan) seperti tabungan, deposito, surat berharga (saham, obligasi) dan lainnya mencapai 4.000 triliun lebih.
Tentu saja, bagi pak Jokowi sebagai Presiden yang dengan sangat baik "memanfaatkan data tersebut", angka 11.000 triliun lebih itu sudah tidak 11.000 triliun lagi karena berdasarkan hasil tax amnesty sudah ada deklarasi aset di luar negeri sekitar 1.000 triliun lebih.
Bagaimana dengan pernyataan pak Prabowo? Menyebut angka 11.000 triliun lebih sebagai proksi untuk memposisikan betapa kurang optimalnya kinerja pemerintahan saat ini atau sekurang-kurangnya menjadi dasar argumentasi menyalahkan sistem ekonomi yang dijalankan pemerintah (termasuk saat ini) adalah ketidaktepatan kesimpulan.
Bagaimana tidak, justru pada masa pemerintahan saat ini ada upaya repatriasi aset WNI di luar negeri agar berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia. Pemerintah juga sudah mulai berupaya membangun kerjasama transparansi aset-aset WNI di luar negeri dengan pemerintah negara lain, sehingga potensi kerugian negara akibat perilaku menyimpang dapat diminimalisir.
Pada masa pemerintahan saat ini, program tax amnesty dijalankan dan berhasil "memaksa" 1.000 triliun lebih aset WNI di luar negeri yang selama ini tidak dilaporkan, kemudian dideklarasikan pada saat program tax amnesty.
Persoalan kedua, pernyataan pak Prabowo yang membandingkan aset 11.000 trilun dengan simpanan nasabah di perbankan nasional jelas mengandung kesimpulan menyesatkan. Hal ini mengingat, apabila menggunakan basis data aset 11.triliun, maka aset likuidnya hanya mencapai 4.000 trilun, artinya tidak sebagaimana kesimpulan pak Prabowo yang menyebut lebih besar dari simpanan di perbankan nasional.
Persoalan ketiga, pak Prabowo yang menyebut 11.000 trilun pasca tax amnesty sudah tidak relevan, karena sekurang-kurangnya apabila menggunakan basis data 11.000 triliun yang muncul sebelum tax amnesty, maka tentu saja saat ini telah berkurang karena sudah ada deklarasi 1.000 triliun lebih dan repratiasi sebesar 140 triliun lebih.