Di tengah situasi perpolitikan yang belum benar-benar mereda, terutama di medsos, muncul ilustrasi menggelitik nalar, akal sehat dan nurani kita untuk kembali merenung tentang hakikat tujuan penyelenggaraan pesta demokrasi saat ini.
Sebuah ilustrasi dimana lambang negara sudah semestinya bersih dari “noda-noda darah” sengkarut politik yang “melukai dan mencederai” warga bangsa, yang terlibat dalam persaingan politik praktis selama ini, mestinya disudahi pasca pemilu digelar serentak.
Bagaimana tidak, suasana perpolitikan yang “berdarah-darah” dan cenderung tidak sehat dalam beberapa bulan terakhir atau bahkan jauh sebelum itu akibat persaingan perebutan pengaruh politik, dirasakan sudah mulai meresahkan. Pasca pemilu digelar, masih saja produksi berita bohong atau hoax bertebaran.
Kekuatan politik sesungguhnya merupakan konsekuensi sekaligus manifestasi dari hadirnya sebuah kekuasaan negara, dalam konsep apapun kekuasaan negara itu.
Ketika keputusan politik memastikan jalan demokrasi, semestinya demokrasi dimaknai sebagai sebuah sarana mencapai tujuan politik dengan cara-cara yang mengutamakan dan mengarusutamakan kepentingan serta tujuan berbangsa dan bernegara.
Demokrasi yang pada hakikatnya menopang penuh kekuatan aspirasi rakyat, yang terbelenggu ketika kekuatan dan kekuasaan otoriter mencengkeram.
Demokrasi adalah jalan keluar dari persaingan politik model masa lalu yang penuh dengan perilaku “barbar”, yang hampir pasti berujung pada perselisihan, pertarungan fisik, pertempuran, pergolakan politik, pertumpahan darah dan pengabaian hak-hak minoritas dan “yang tersingkir”.
Mudah-mudahan, kekuatan demokrasi dimaknai sebagai babak baru untuk memulai peradaban politik yang mengkedepankan aspirasi rakyat secara damai, mengandalkan intelektualitas, membangun kedewasaan berpolitik, sportivitas, mengkedepankan politik simpatik, serta membangun tata kelola yang transparan dan akuntabel.
Hal ini mengingat, demokrasi pada hakikatnya dan semata-mata merupakan manifestasi dari model tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagai pengakuan mutlak dari “people power” dan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.
Hoax bukan sarana membangun kehidupan politik yang sehat, karena sekali hoax memenangkan persaingan politik, maka sudah tidak ada lagi transparansi dan akuntabilitas, isu-isu rakyat hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik, dan hampir bisa dipastikan setelah pemilu selesai kemudian rakyat benar-benar ditinggalkan.
Sekali hoax digunakan sebagai sarana merebut kekuasaan, maka kekuasaan tersebut susah dipastikan transparansinya, akan sangat jauh dari tujuan tata kelola pemerintahan yang baik, yang berpihak kepada kepentingan dan kekuatan rakyat sebagai modal dasar dan penopang utama prinsip demokrasi itu sendiri.