KPU “Salah Entri Data" ataukah “Curang”?

Bertubi-tubi KPU diserang isu “tidak netral” dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, termasuk ketika terjadi kesalahan entri data hasil rekapitulasi TPS yang dimasukkan dalam form C1 untuk tujuan publikasi di SITUNG KPU.  Lalu, bagaimanakah cara paling jitu menilai netralitas KPU dalam kasus ini?

Beberapa indikator kuat dapat digunakan untuk menelaah apakah kesalahan entri data disengaja untuk berpihak pada paslon tertentu ataukah semata-mata kesalahan entri data akibat human error. 

1.    Situng tidak menentukan hasil rekapitulasi nasional

Data yang dientri dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU tidak menentukan hasil rekapitulasi suara secara nasional, karena rekapitulasi secara nasional dilakukan secara manual berjenjang.  Situng hanya difungsikan sebagai sarana publikasi KPU agar semua pihak cepat mengetahui hasil pemilu dan berperan mengkontrol, serta menekan kemungkinan terjadinya kecurangan.

Melalui publikasi rekap penghitungan suara dalam Situng, semua pihak yang memegang form C1 diharapkan berpartisipasi mengoreksi, bukan menuduh KPU curang, sehingga nantinya dari Situng diperoleh gambaran perolehan suara secara nasional, yang dapat digunakan sebagai instrumen kontrol semua pihak terhadap proses rekapitulasi manual yang sedang berlangsung secara berjenjang.

2.    Rekapitulasi nasional dilakukan secara berjenjang

Rekapitulasi suara secara nasional baik terhadap Pilpres maupun Pileg dilakukan secara berjenjang dari mulai TPS, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi hingga tahap akhir rekapitulasi suara di KPU Pusat (KPU RI). 

Hasil publikasi perolehan suara yang ditampilkan di Situng tidak akan mempengaruhi hasil rekapitulasi perolehan suara berjenjang secara nasional, karena rekapitulasi perolehan suara secara berjenjang sampai di tingkat KPU pusat /KPU RI terus melibatkan semua peserta pemilu.

Hal ini berdasarkan ketentuan PKPU No 7 Tahun 2017 sebagaimana diubah dalam PKPU No 7 Tahun 2019, lampiran pasal 3 sebagai bagian tak terpisahkan dari pasal 3 menentukan jadwal berjenjang rekapitulasi perolehan suara secara nasional dari TPS hingga KPU RI.


3.    Situng kurang antisipatif

Persoalan mendasar dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dalam banyak hal memang mengalami perubahan, beberapa di antaranya terlihat terjadi peningkatan performance terutama pada bagian interface antar pengguna (user) dengan server, serta penyatuan situng Pilpres dengan Pileg sesuai dengan tingkatannya, sebagai konsekuensi dari Pemilu serentak.

Namun ada persoalan mendasar yang kelihatan terabaikan dalam Situng 2019 dibanding Situng 2014, yakni tidak adanya alur logika pemprograman untuk “error handling” ketika menghadapi entri data yang secara kalkulasi tidak seimbang antara perolehan suara dengan suara total.

Suara total pemilih yang dientri dalam beberapa insiden kesalahan entri data terlihat tidak sama dengan suara total perolehan pemilih dari masing-masing paslon.  Sistem seperti ini akan gagal mengidentifikasi apakah terjadi “kesalahan entri” atau “sengaja salah meng-entri-kan data”.

4.    Beban kerja petugas entri data meningkat 20%

Pemilu serentak 2019 menambah beban petugas entri data di Kab/Kota atau di Propinsi apabila scanner tidak ada di kab/kota menjadi meningkat sekurang-kurangnya 20% dari pemilu 2014. 

Hal ini mengingat Pilpres dan Pileg diselenggarakan secara bersamaan, yang konsekuensinya jumlah form C1 yang harus dipindai/discan meningkat 20%, aktivitas upload hasil scan form C1 meningkat 20% dan entri data meningkat 20%.  Sehingga insiden kesalahan entri akibat “human error” seperti kelelahan, kualitas sdm peng-entri data, ketelitian berpotensi terpengaruh lebih besar.

Bisa dibayangkan dengan jumlah 809.500 TPS untuk 514 kab/kota, maka rata-rata beban tiap kab/kota kira-kira kurang lebih 1.600-an tps atau formulir C1 yang harus discan, diupload dan dientri datanya sekitar 8.000-an.  Itu jumlah yang sangat banyak, apalagi untuk waktu yang sangat terbatas.

Berdasarkan ketentuan PKPU Nomor 3 Tahun 2019 sebagaimana diubah dengan PKPU Nomor 9 Tahun 2019 dijelaskan tugas scanning, upload dan entri data oleh KPU/KIP Kabupaten/Kota atau KPU Propinsi/KIP Aceh.

Pasal 61
Ayat (9) KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib memindai (scan) salinan formulir Model C-KPU, Model C1-PPWP, Model C1-DPR, Model C1-DPD, Model C1-DPRD Provinsi, dan Model C1- DPRD Kab/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai sejak hari dan tanggal Pemungutan Suara.

Ayat (10) KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib mengirimkan hasil pindai (scan) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada KPU melalui Situng untuk diumumkan di laman KPU.

Pasal 63
Ayat (3) KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat melakukan tabulasi Penghitungan Suara sementara dengan menggunakan Situng.

5.    Kesalahan entri data tidak signifikan

Kesalahan entri per kab/kota jumlahnya tidak signifikan meningkatkan suara calon peserta pemilu, karena faktanya kesalahan entri sampai saat ini jumlahnya tidak besar, menurut release KPU terakhir ada 9 TPS tersebar di berbagai wilayah:
  • TPS 17 Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela Kota Mataram, NTB
  •  TPS 3 Desa Gonjak, Kecamatan Praya Lombok Tengah
  •  TPS 93 di Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, DKI Jakarta
  •  TPS 10, Kelurahan laksamana, Dumai, Provinsi Riau
  • TPS 25, Kelurahan Banjarnegoro, Kecamatan Martoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
  •  TPS 7, Kelurahan Rojoimo, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
  • TPS 6 Kelurahan Lesane, Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
  •  TPS 39, Kelurahan Cipete, Kecamatan Curug, Kota Serang, Banten
  •  TPS 15 Desa Cibadak, Kecamatan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat

Kesalahan ini mungkin saja terjadi pada entri-entri selanjutnya, tetapi melihat trend jumlah dan kesiapan KPU mengantisipasi kesalahan serupa, kesalahan-kesalahan entri berikutnya pun tidak banyak, atau bahkan cenderung berkurang atau mungkin saja tidak ada sama sekali.

6.    Kesalahan entri data bersifat non sistematik 

Pertama, berdasarkan release terakhir KPU menyebutkan bahwa kesalahan entri data tidak hanya merugikan salah satu paslon dalam kontestasi Pemilihan Presiden, karena faktanya kedua paslon dirugikan. 

Kedua, kesalahan entri data secara keseluruhan tidak berpengaruh signifikan terhadap selisih perolehan suara calon peserta pemilu secara nasional, karena jumlah kesalahan hanya pada beberapa TPS dari total 809.500 TPS, yang hanya berpengaruh pada peningkatan ribuan suara pemilih.

Bahkan “seandainya” kesalahan itu terjadi rata-rata 2 TPS di tiap kab/kota dengan peningkatan suara paslon yang diuntungkan satu pihak saja sebesar 200 pemilih, maka hanya akan terjadi peningkatan kurang lebih 200.000 suara pemilih secara nasional.

Apabila dibandingkan dengan selisih perolehan suara berdasarkan quick count beberapa lembaga survei yang sudah terbukti kredibilitasnya dalam pemilu dan pilkada, selisih suara Pilpres berkisar kurang lebih 10%  atau kurang lebih sekitar 20 juta.

Kesimpulan
Berdasarkan keenam fakta tersebut, tidak ada satu  pun yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk menduga KPU tidak netral ataupun ada salah satu paslon yang mengintervensi independensi KPU dalam menjalankan tugas.