China sebagai kekuatan ekonomi raksasa baru di dunia, yang berkembang sekitar seperempat abad terakhir menandai babak baru konstelasi peta ekonomi dunia. Tidak sebatas peta ekonomi, isu kekuatan ekonomi China pun tidak dapat dilepaskan dari persaingan kekuatan politik lokal di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia.
Kekhawatiran ketergantungan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap kekuatan ekonomi “Beijing” menjadi komoditas politik di dalam negeri, terutama ketika agenda suksesi kepemimpinan nasional tengah bergulir di negeri ini. Isu hutang dari China dikhawatirkan sanggup memposisikan kebijakan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan secara nasional dan lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah China.
Tampaknya, kekuatan politik lokal di dalam negeri, yang sedang mencoba bangkit merebut pengaruh tidak menyia-nyiakan isu tersebut. Berbagai isu regional, termasuk pemimpin Malaysia terplih Mahathir Mohammad yang mengingatkan Filipina agar tidak jatuh dalam jebatan utang China turun di-blow up menjadi bagian dari isu politik lokal.
Namun, bagaimanakah fakta sesungguhnya yang terjadi?
Pemerintah RI sejak reformasi jauh lebih berhati-hati dalam pengelolaan hutang. Tidak ada satu negara pun sumber hutang RI yang sangat dominan. Bahkan hingga saat ini, China yang menempati posisi ketiga kreditur Indonesia hanya memiliki proporsi 4,6% dari seluruh hutang RI atau $16,5 Milyar dolar dari total 358,6 Miliar dolar utang luar negeri Indonesia.
Proporsi hutang ke China tersebut hampir sebesar proporsi hutang RI terhadap AS yg sebesar 4,2% atau 15,2 Milyar dolar. Kedua negara tersebut, yang kini saling bersaing membangun kekuatan pengaruh hegemoni ekonominya di dunia, memiliki bargaining position dalam konteks hutang yang hampir sama di Indonesia.
Jadi, menjadikan isu hutang dari China terlihat dilebih-lebihkan, yang semata-mata dapat diduga dikapitalisasi sebagai komoditas politik untuk mencari keuntungan dan dukungan dalam konstelasi perebutan pengaruh politik lokal di dalam negeri.
Kekhawatiran ketergantungan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap kekuatan ekonomi “Beijing” menjadi komoditas politik di dalam negeri, terutama ketika agenda suksesi kepemimpinan nasional tengah bergulir di negeri ini. Isu hutang dari China dikhawatirkan sanggup memposisikan kebijakan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan secara nasional dan lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah China.
Tampaknya, kekuatan politik lokal di dalam negeri, yang sedang mencoba bangkit merebut pengaruh tidak menyia-nyiakan isu tersebut. Berbagai isu regional, termasuk pemimpin Malaysia terplih Mahathir Mohammad yang mengingatkan Filipina agar tidak jatuh dalam jebatan utang China turun di-blow up menjadi bagian dari isu politik lokal.
Namun, bagaimanakah fakta sesungguhnya yang terjadi?
Pemerintah RI sejak reformasi jauh lebih berhati-hati dalam pengelolaan hutang. Tidak ada satu negara pun sumber hutang RI yang sangat dominan. Bahkan hingga saat ini, China yang menempati posisi ketiga kreditur Indonesia hanya memiliki proporsi 4,6% dari seluruh hutang RI atau $16,5 Milyar dolar dari total 358,6 Miliar dolar utang luar negeri Indonesia.
Proporsi hutang ke China tersebut hampir sebesar proporsi hutang RI terhadap AS yg sebesar 4,2% atau 15,2 Milyar dolar. Kedua negara tersebut, yang kini saling bersaing membangun kekuatan pengaruh hegemoni ekonominya di dunia, memiliki bargaining position dalam konteks hutang yang hampir sama di Indonesia.
Jadi, menjadikan isu hutang dari China terlihat dilebih-lebihkan, yang semata-mata dapat diduga dikapitalisasi sebagai komoditas politik untuk mencari keuntungan dan dukungan dalam konstelasi perebutan pengaruh politik lokal di dalam negeri.