Kekeliruan paradigma “anti impor” yang diwacanakan sebagaian ekonom di Indonesia kepada masyarakat memiliki konsekuensi sangat fatal. Kalau bicara orientasi kebijakan impor tentu tidak tepat dengan menyebut kebijakan menguatkan fundamental ekonomi dengan cara "mengurangi impor". Kalau negara tujuan ekspor Indonesia melakukan hal yang sama, itu sama juga dengan merusak atau bahkan merobohkan fundamental ekonomi Indonesia.
Fundamental ekonomi yang kuat sejatinya tidak dicerminkan dengan melemahkan impor, akan tetapi memastikan terjadi kesetimbangan (equilibrium) antara ekspor dengan impor yang kuat dengan semakin membesarnya volume perdagangan, baik ekspor maupun impor secara berimbang, konsisten dan berlangsung dalam jangka panjang.
Soal kebijakan Pemerintah pada masa dimana rupiah terdepresiasi tidak wajar dengan menekan impor baik melalui kebijakan menaikkan bea masuk untuk item-item barang yang tidak ada subtitusinya di dalam negeri maupun menunda proyek infrastruktur yang konsumsi komponen impornya cukup tinggi, maka harus diposisikan berbeda.
Kebijakan tersebut harus diletakkan pada keadaan yang memaksa untuk mengembalikan dan menjaga nilai kurs rupiah tetap dalam batas yang wajar, bukan dianggap dan dinilai sebagai kebijakan yang bersifat permanen dan bukan juga merupakan kebijakan yang mencerminkan sebuah antitesis terhadap keadaan yang sering disebut sebagai "ketergantungan ekonomi" dalam rangka menguatkan kemandirian di bidang ekonomi.
Kebijakan anti impor hanya akan menstimulasi terhambatnya ekspor, sehingga berpotensi menstimulasi terjadinya kontraksi perdagangan antar negara, yang pada akhirnya menjadi penyebab penurunan produktivitas di dalam negeri, industri berguguran, PHK besar-besaran tidak hanya terjadi pada perusahaan berorientasi ekspor, tetapi juga terhadap produsen produk/jasa lokal diakibatkan daya beli menurun, sehingga pada akhirnya berpotensi meruntuhkan perekonomian secara keseluruhan.